Sejarah Lahirnya Kantata Takwa
Sejarah Lahirnya Kantata Takwa
Kantata Takwa,
nama kelompok musik legendaris beranggotakan para musisi-seniman
berkualitas tinggi yang dimiliki Indonesia. Banyak dari kita cuma
mengenal lagu-lagunya saja dan cukup puas melihat konser atau
rekamannya, jarang kisah awal mula berdirinya kelompok musik ini
diketahui.
Maka dari itu kami angkat kembali tulisan lama dari Yockie Suryo Prayogo mengenai Sejarah Lahirnya Kantata Takwa. Artikel ini tampil utuh di iwanfalsmania.com dengan seijin langsung dari penulisnya. Mungkin sudah ada yang pernah membacanya, namun kami yakin ada pula yang belum tahu. Semoga bisa menambah wawasan kita dan menjadi dokumentasi berharga musik Indonesia. (*)
Maka dari itu kami angkat kembali tulisan lama dari Yockie Suryo Prayogo mengenai Sejarah Lahirnya Kantata Takwa. Artikel ini tampil utuh di iwanfalsmania.com dengan seijin langsung dari penulisnya. Mungkin sudah ada yang pernah membacanya, namun kami yakin ada pula yang belum tahu. Semoga bisa menambah wawasan kita dan menjadi dokumentasi berharga musik Indonesia. (*)
-----------------------------------------------------------------------------
Sejarah Lahirnya KANTATA TAKWA
oleh: Yockie Suryo Prayogo
-----------------------------------------------------------------------------
oleh: Yockie Suryo Prayogo
-----------------------------------------------------------------------------
Sejarah lahirnya Kantata Takwa (Bagian 1)
Kantata Takwa, begitu panjang kisahnya yang bisa saya tulis mengenai kelompok musik tersebut. Karena itu pula saya terpaksa harus membagi-bagi tulisan Kantata dengan versi 1- 2 -3 dan selanjutnya nanti. Pada bagian ini saya hanya akan mengungkapkan kisah perkenalan saya dengan mas Djody hingga terbentuknya kesepakatan kelompok kerja kesenian tersebut, yang akhirnya disebut Kantata Takwa.
Pada tahun 1989, saat itu saya sedang gencar melakukan promo tour bersama kelompok Godbless bagi album kami yang bertajuk ”Semut Hitam”. Saat itu saya masih tinggal di sebuah rumah (kontrakan) di daerah Kebon Jeruk, tepatnya di jalan Anggrek no.52 Kelapa Dua Kebon Jeruk – Jakarta Barat.
Disela-sela kegiatan tour, saat sedang istirahat (jadwal kosong) kami semua selalu pulang kembali ke Jakarta. Suatu hari saya ditelpon oleh Jelly Tobing (drummer) mengajak saya untuk menemani dia berhura-hura (jam-session’an) main musik dirumah seorang kenalannya. Tidak ada target atau tujuan jangka panjang tertentu selain hanya untuk ”bersuka-cita”, bermusik sekedar hepi-hepian mengisi waktu yang luang saja. Temannya tersebut adalah penghobbi musik yang punya fasilitas latihan/nge-band dirumahnya. Lazimnya orang tajir-lah …intinya .. :) .
Saya sendiri setelah diberitahu oleh Jelly Tobing, bahwa orang tajir tersebut namanya Setiawan Djody rasanya sudah tidak asing terdengar dikuping saya. Siapa sih yang nggak kenal dia saat itu…, maksudnya dilingkungan teman-teman lama saya (di tahun 1970’an) yang saat itu banyak berkecimpung di ranah bisnis “puncak gunung”, nama Setiawan Djody adalah jaminan kertas bernilai yang nggak ber-seri istilahnya hehehe.. (sumpah ngga ngaruh.., saya nggak matre’..!).
Kebetulan juga tempat tinggalnya diwilayah Kemanggisan Raya – Kebon Jeruk, yang notabene tidak berapa jauh dari rumah kontrakkan saya sendiri (10 kilometer-an lah kira-kira jaraknya). Maka disuatu hari Minggu, melalui telpon setelah janjian sama Jelly Tobing saya bersedia dateng ke alamat tersebut… ber “jreng-jreng” ria.
Singkat kata kemudian saya menelusuri jalan Kemanggisan raya yang “krodit” penuh dengan oplet dan pedagang kaki lima dikanan kirinya. Saya mencari-cari nomer rumah yang diberikan pada saya……..fuih..! nggak keliatan jek! Abis kiri kanannya penuh toko-toko bangunan serta deretan warung dan kios-kios lainnya.
Barulah akhirnya saya lihat ada sebongkah pintu gerbang besar berwarna ijo, nyelip diantara warung gudeg dan bakul-bakul rokok pinggiran jalan lainnya. Hm…ini mungkin pikir saya. Lalu sesuai dengan ”petunjuk Jelly Tobing”, bahwa: ”Klakson aja” kalau sudah ketemu gerbang ijo tersebut. Maka saya klaksonlah pintu gerbang ijo tersebut dua kali saja, ”tin…tiiin” gitu bunyi BMW 520 (yang juga masih belom lunas kreditan-nya) hehehe.
Sekejap pintu besar tersebut dibukakan oleh dua orang bertubuh tegap berambut klimis berwajah sangar ..hihihi. Mereka yang kemudian saya kenal akrab bernama pak Parno dan lainnya huehehe. Begitu hidung mobil masuk pintu pagar, terbentang ruang parkiran luas yang kira-kira mampu menampung 12 mobil banyaknya. Masih dari dalam mobil saya melihat dua ekor patung macan Afrika (item dan guwedhe) yang terbuat dari batu semen, sepertinya emang bertugas untuk menyambut kedatangan tamu yang hadir disana. Ck..ck..ck..kagumnya saya… (ndesit tenan..!).
Ruang parkiran tadi adalah bagian terpisah yang dibatasi dengan tembok tinggi untuk memasuki ruang bangunan rumah yang sebenarnya. Maka setelah melewati tembok pintu besar (melewati macan-macan tadi) …semakin takjub saya dibuatnya…. Rasanya tidak sedang berada seperti di Jakarta, namun lebih mirip saya sebut seperti sedang di daerah Bali (mis: Ubud/Gianyar, dsb). Sementara bangunan rumahnya sendiri bergaya klasik aristokrat Eropa yang rada-rada serem dan mencekam (paling nggak buat saya… kebayang sih.. gimana kalau malam..) apalagi disana sini banyak dibangun semacam ”pura” lengkap dengan sesajen2nya. Tetapi sekejap ke-takjub’an saya sirna oleh suara bising ”gedebak.. degebug… nguinngg nguuueinng.. suara gitar bertalu-talu ..hehehe..” (koq gitar bertalu-talu sik?..salah yaakk…biarin deh..).
Tampak Jelly Tobing (biasa…super heboh..) dengan beberapa rekan musisi yang sudah saya kenal seperti Ferry Asmadibrata (musisi terkenal asal Bandung) dan juga ada seorang promotor kawakan… Sofyan Ali namanya ..wah ..seru…(Bla..bla..ba..). Lalu saya dikenalkan ke Setiawan Djody oleh Jely Tobing dan sejenak kami terlibat pembicaraan “ngalor ngidul” sebelum akhirnya saya ikut-ikutan gunjrang-gunjreng nge-berisikin tetangga…: ”JUMP!” by Van Hallen…eh’..tak begitu lama kemudian nongol Renny Jayusman (rocker wanita yang selalu kalungan se-lemari banyaknya..) hehehe.. Datang langsung nyamperin microphone… ”ohh yeeeaahhh…Jumppp!!!” hayaaahh…
Kelompok/pergaulan awal tersebutlah yang kemudian melahirkan gagasan untuk membiayai rekaman bagi ”Mata Dewa” nya Iwan Fals dengan arranger-nya Ian Antono. Yang juga kemudian melahirkan pemikiran Sofyan Ali untuk mendirikan join perusahaan bersama Setiawan Djody yang bernama ”AIRO”. Semenjak saat itulah hubungan pergaulan saya dengan Setiawan Djody kian hari kian akrab, sebagai sesama orang yang mencintai dunia kesenian (khususnya di musik).
Barulah pada tahap-tahap berikutnya akan saya ceritakan proses bergabungnya teman-teman musisi yang lain seperti Iwan Fals / Sawung Jabo dan lainnya.
Sejarah lahirnya Kantata Takwa (Bagian 2)
Semenjak itu saya kerap kali ditelpon mas Djody untuk membicarakan berbagai hal tentang perkembangan musik di Indonesia. Saya katakan bahwa pada intinya musisi ’alternatif’ (non industri) di Indonesia ini membutuhkan "uluran tangan" dari berbagai pihak yang ”peduli”, yang bukan hanya mikirin rumus dagang saja tapi juga mikir tentang "berkesenian" dalam artian yang lebih luas lagi.
Saya melihat ada ”concern” dari dia untuk mau berdialog dengan saya panjang lebar tentang hal tersebut. Maka ketika suatu kali dia menceritakan gagasannya yang ingin bekerja sama dengan AIRO (saat itu perusahaan tersebut masih menjadi milik Sofyan Ali) secara spontan saya langsung mendukungnya.
Dan pada saat itu hubungan kerjasama antara Sofyan Ali dengan Iwan Fals memang sudah berjalan (lewat berbagai konser Iwan sendiri saat-saat itu). Maka ketika konser 100 kota yang akan dimulai di Sumatra (Palembang) tersebut dicekal, Sofyan Ali berkeinginan untuk mengajak Iwan masuk studio guna rekaman.
Rekaman Iwan Fals tersebut akhirnya berlangsung dibawah management AIRO yang bekerjasama dengan SD (Setiawan Djody). Dan seingat saya sebelum masuk ke studio, SD pernah pergi berdua dengan Iwan ke Bali, dimana mereka pada akhirnya berhasil menciptakan lagu ”Mata Dewa”. SD sendiri mengatakan bahwa Mata Dewa adalah ”Sunset” yang mereka lihat ketika mereka gitaran berdua di pantai Kuta.
Maka berikutnya, ketika Iwan Fals sedang sibuk merekam Mata Dewa, saya sendiri mulai sering mengawal SD untuk bermain musik, baik itu dirumahnya atau terkadang beberapa kali ikut konser bersama dipanggung-panggung musik di Ancol. Formasinya waktu itu antara lain Jelly Tobing dsb. Kami hanya memainkan repertoar-repertoar bule. Umumnya lagu-lagu dari Led Zepllin dan U2 ada satu atau dua sih lagunya Van Hallen. Maklum kelompok tersebut memang bukan band serius, tapi hanya sekedar ”gathering” atau kelompok gaul dan per-temanan saja.
Jujur saja, lama-lama saya merasa ”eman” atau sayang kalau melihat kemampuan ”finansial” yang dimiliki hanya untuk ”proyek” kesenangan pribadi saja. Maka secara bertahap perlahan tapi pasti, saya mulai ”meracuni” isi otak pikiran SD agar mau membantu kondisi musik rock yang saat itu emang sudah mulai ”terkapar” tak berdaya.
Hanya ada satu orang di Indonesia kala itu yang secara spesifik berkutat di bisnis musik rock kita, yaitu Log Zelebour yang kebetulan juga mengelola management Godbless. Namun keberadaan Log Z. lebih pada pendekatan bisnis pragmatis, sedangkan yang saya anggap diperlukan musisi rock Indonesia adalah figur sponsor yang berfungsi sebagai seorang ”maesenas”. (yang nggak berpikir harus untung melulu).
Album Mata Dewa |
Beberapa bulan kemudian setelah kaset tersebut terbilang ”sukses”, maka Setiawan Djody mengundang kita semua (saya, Iwan Fals dan WS.Rendra serta Sawung Jabo) guna ngobrol membicarakan segala kemungkinan kesepakatan yang bisa dicapai. Perkenalan antara WS.Rendra (mas Willy) dengan SD sudah terjalin semenjak lama sebelum saya sendiri hadir disana. SD selama itu memang bertindak sebagai maesenas bagi kebutuhan “Bengkel Teater” Rendra, bahkan sudah sempat mengadakan pementasan di New York dan beberapa kota di luar negeri dan sebagainya. Sedangkan Sawung Jabo sendiri adalah salah satu anggota dari Bengkel Teater tersebut.
Singkat kata, kami hampir menemukan kesepakatan untuk saling bekerja-sama, namun harus melewati satu masalah lagi atau anggap saja satu persyaratan yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Yaitu, Iwan Fals bersama S.Jabo dan kawan-kawan yang lain ternyata sedang membuat lagu-lagu, dan sedang merencanakan untuk bisa direkam di studio dan sebagainya. Persyaratan tersebut meminta agar SD juga bersedia menangani masalah management recording bagi mereka. Agar saat nanti, bila kita bisa bekerja sama maka “master” dari produk rekaman tersebut tidak kemana-mana, alias dikelola oleh satu management saja.
SD menyetujui persyaratan tersebut dan bersedia bersama-sama Sofyan Ali untuk mengelola dibawah bendera/label AIRO. Disanalah awal mula gagasan besar tersebut beranjak. Saya pribadi sebenarnya juga tertarik untuk terlibat dalam rekaman yang akan mereka lakukan tersebut, namun saat itu saya lebih berfikir ”taktis” agar lebih berkonsentrasi ”mengawal” SD agar tidak berubah pikiran ..hehehe..., maklum ”roang tajir” kadang-kadang suse’ dipegang buntutnya. Saya sering menemani dia untuk workshop dirumahnya, sekaligus memberi masukan-masukan dan yang terpenting adalah melengkapi peralatan musik yang nanti dibutuhkan .
Singkat cerita, beberapa bulan kemudian rampunglah rekaman Iwan dan teman-teman tersebut (di GIN studio), lalu program jangka pendek berikutnya adalah ”launching” serta dilanjutkan dengan konser (promo).
Sayang, entah mengapa tiba-tiba saya mendapat berita bahwa Sofyan Ali mengundurkan diri dari kelompok kerja tersebut. Dan menyerahkan AIRO untuk dikelola sendiri oleh management SD yang saat itu bernama Multy Setdco. Saya sempat kecewa dengan hal tersebut.... sebab dimata saya belum ada orang Indonesia saat itu yang mampu mengelola bisnis pertunjukan musik dengan baik sekaliber Sofyan Ali.
Album Pertama SWAMI |
Hari-hari itu... adalah hari-hari dimana Bento dan Bongkar "menggelegar" bagaikan hendak memecah angkasa Indonesia.
Sejarah lahirnya Kantata Takwa (Bagian 3)
Sayang sekali saya tak ingat kapan persisnya pertemuan antar kami berlima terjadi, namun bisa dipastikan bahwa kami semua berkumpul ditempat kediaman SD di wilayah Kemanggisan Raya - Kebon Jeruk tersebut.
Satu hal yang cukup penting harus saya katakan disini, bahwa sebenarnya ada satu nama lagi yang saya usulkan diantara kami berlima yang sudah ada, saya usulkan untuk bergabung dalam kolaborasi tersebut. Yang bersangkutan sendiri secara prinsip bersedia serta sudah beberapa kali juga hadir disana untuk membahas dan membicarakan berbagai hal (dialog non teknis lainnya) sebagai persiapan untuk merumuskan konsep dan bentuk yang akan dirancang. Orang tersebut adalah salah satu sahabat saya sendiri, Harry Roesli (almarhum). Yang juga dijuluki sebagi Musisi mBeling dari kelompok DKSB.
Namun karena Harry Roesli seperti yang sudah kita ketahui bersama domisilinya berada di Bandung, maka hanya sesekali saja yang bersangkutan bisa hadir membicarakan berbagai hal, sedangkan kami berlima yang lainnya lebih sering dan intens untuk berkumpul . Maklum jarak antara Jakarta – Bandung saat itu harus ditempuh selama 4 jam’an lebih. Sebab belum ada jalan tol seperti sebagaimana kondisi saat ini.
Hari-hari berikutnya adalah disepakatinya kegiatan workshop secara rutin di Kebon Jeruk. Jelly Tobing beberapa kali turut hadir disana dan menemani kita untuk memainkan drum ketika datang. Komposisi orang-orang yang terlibat workshop di awal-awalnya adalah saya di keyboard, SD di gitar listrik, Iwan gitar akustik, Jabo di cuap-cuap, Jelly Tobing di drum, serta Edmond (seorang musisi ”lawas” asal kota Solo, yang dulu pernah tergabung bersama SD di Band Terencem pada tahun 70’an).
Figur yang terakhir ini adalah orang yang cukup ”unik” dimata kita semua. Selain gemar guyonan ”khas Jawa”, yang bersangkutan juga sering kita anggap sebagai ”guru spiritualnya” SD selama ini yang khusus untuk menemani SD main gitar sehari-hari sebelum kita semua ada dilingkaran pergaulan di Kebon Jeruk.. (hehehe).
Kegiatan tersebut dilakukan seminggu dua kali (kalau tidak salah) saya tidak ingat lagi tepatnya setiap hari apa kita berkumpul dan bermusik bersama. Yang pasti itu dilakukan disela-sela kegiatan konser promo bagi album Swami (Bento, Bongkar dll.).
Dalam suasana workshop diatas, secara tehnis kami semua sepakat untuk tidak mengacu kepada satu kredo-kredo tertentu, atau warna musik tertentu namun lebih kepada ”mengalir saja” seperti air. Bisa dibayangkan bagaimana suasana ”riuh” yang terdengar disana.
Riuh yang saya maksudkan adalah… gegap gempitanya suara drum yang menggebu dengan ditimpali oleh suara lengkingan gitar yang sangat dominan, serta teriakan-teriakan tanpa kalimat (sekedar na..na..na dsb) dari Iwan Fals dan Jabo. Ditambah lagi dengan tidak adanya ”jalur kord” yang sudah disepakati sebelumnya, alias 3 jurus plus. (nah…”plus” nya itu yang bisa 10 bisa 20 bisa 30… pokoke sak matek’e lah..) hehehe..
Saya sendiri menganggap suasana hiruk pikuk tersebut sangatlah dibutuhkan, agar saya bisa menangkap ”esensi” dari keinginan serta karakter ekspresi masing-masing personal yang ingin disampaikan. Walaupun harus saya akui seringkali saya terpaksa harus ”melindungi” kedua belah lobang dikuping saya dengan jari tangan… supaya dia nggak pecah atau paling tidak enggak jadi ”kendor” selaputnya ..hehehe. Terutama dari bunyi freqwensi yang dihasilkan dari perangkat Soldano nya SD, yang luar biasa tingginya serta keras suaranya.
Bayangkan saja, Soldano tersebut di-distribusikan ke 4 pasang Speaker Marshal 200 lewat 4 buah power tersendiri untuk memenuhi kebutuhan 4 stack speaker Marshall tadi. (seperti kita ketahui bahwa satu stack terdiri dari dua buah speaker). Artinya suara gitar SD disalurkan lewat 8 buah speaker dalam ruangan workshop yang hanya seluas sekitar 5 X 12 meteran. Sedangkan kami yang lainnya, apalagi saya… hanya bersandarkan pada satu buah amplifier ukuran kecil sekelas Fender Jazz Chorus untuk keybord, demikian juga yang lainnya.
Gubbraaakk.. Gedubrakkss… nguinggg.. nGGuuing… CiiaaTT.. wwwAAAAA..!!!, gitu deh’…kira-kira bunyinya dalam bentuk tulisan di huruf……hahaha..!
Sementara mas Willy saya lihat tampak sering hanya mampu bertahan sebentar didalam ruangan lalu berjalan kearah pintu untuk kemudian cukup melihat dan mendengar dari luar tempat latihan tersebut…sambil sesekali dahinya mengkerut… mungkin mencoba menangkap suasana yang cukup liar… lalu menuliskan sesuatu diatas kertas. Ya… saya baru sadar kemudian, rupanya mesin produksinya langsung terpicu dan langsung juga bekerja sebagai penulis naskah.
Hingga akhirnya saya putuskan didalam pertemuan berikutnya, bahwa program workshop selanjutnya haruslah dilakukan secara lebih sistemik. Tidak bisa lagi kita terus-terusan hanya mengeksplorasi suasana tanpa ada kemampuan dan keinginan untuk menangkap/merumuskan “esensi” dalam bentuk sebuah konsep agar lebih “real” dan konkrit. Saya mengusulkan agar latihan-latihan berikutnya cukup terdiri dari beberapa orang saja dari kami guna terciptanya lagu-lagu yang diinginkan.
Disepakati kemudian bahwa saya ditunjuk sebagai komandan untuk berhak memutuskan segala sesuatunya yang berkaitan dengan bunyi-bunyian musik. Rendra sebagai penulis teks dan lirik untuk melengkapi lagu. Sawung Jabo sebagai “tong sampah” yang berfungsi menampung berbagai “aspirasi” keinginan yang ingin disampaikan oleh semua pihak. Iwan Fals sebagai juru terompet yang mewakili suara semua pihak lewat suara nyanyian. Dan SD sebagai penyedia sarana dari berbagai hal teknis yang diperlukan.
Hari-hari berikutnya hanya saya, Iwan Fals, Sawung Jabo dengan ditemani oleh Robin (musisi warga Philipina) yang lebih bertugas merekam draft lagu-lagu kedalam computer lewat “cakewalk” nya. Kami bertigalah yang akhirnya bekerja secara detail untuk mengarang lagu secara kolaboratif bersama.
Demikianlah sejarah awal dari terbentuknya kelompok musik KANTATA TAKWA yang bisa saya rekam dalam tulisan. Semoga tulisan ini suatu saat bisa terus diperbaharui atau ditambahkan lagi berbagai kekurangannya atau bahkan dikoreksi bila diperlukan, agar bisa melengkapi kisah-kisah yang harus disimpan dalam ruang-ruang perpustakaan perjalanan musik di Indonesia pada umumnya.
Saya prihatin mengingat system per-dokumentasian kita yang sampai detik ini belum juga berfungsi sebagaimana seharusnya. Orang hanya diajarkan untuk melihat “hasil” dan menutup mata kepada “proses” serta dasar “filosofi” yang melatar belakanginya.
Selamat pagi Indonesia , hari sudah menjelang sore....
Teks asli artikel ini diposting pada 8 Juli 2008, oleh Yockie Suryo Prayogo
Diambil dari: http://jsops.multiply.com/reviews/item/22
-----------------------------------------------------------------------------
Kantata Takwa
oleh: Yockie Suryo Prayogo
-----------------------------------------------------------------------------
oleh: Yockie Suryo Prayogo
-----------------------------------------------------------------------------
Kantata Takwa, adalah sebuah proses interaksi berbagai ego-ego besar yang dipayungi WS.Rendra sebagai penasehat spiritual dan penulis sajak/lirik, Setiawan Djody sebagai fasilitator untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan pembiayaan dan lainnya, Iwan Fals sebagai peniup trompet atau juru vocalnya, Sawung Jabo menyediakan dirinya dengan istilah “tong sampah” untuk menampung segala uneg-uneg bersama yang suatu saat harus ditampung dan didistribusikan secara demokratis, saya sebagai designer musik atau bahasa asingnya arranger.
Karena posisi masing-masing diatas sudah sangat jelas, maka bagi saya selaku arranger, garis batas ruang kerja saya juga tampak semakin jelas.
Proses kerja :
Dua minggu pertama, hanya saya, Sawung Jabo dan Iwan yang melakukan eksplorasi suara untuk membuat lagu. Kami bertiga ‘ngarang’ bersama di Kebon Jeruk (piano dan 2 buah akustik gitar). Saya mencatat semua kemungkinan-kemungkinan dan ambience yang muncul dari eksplorasi tersebut.
Setelah selesai 2 mingguan (kurang lebihnya), saya sendirian melakukan proses kerja awal Studio (saat itu Gin Std). Saya menterjemahkan ulang bahasa lagu yang telah kita hasilkan bertiga lewat piano, tentunya juga dengan pendekatan sebuah aransemen. (untuk menyelesaikan musik dasarnya saya dibantu: Donny F, Totok T, Eet S, Reidy Noor, Budi Haryono, Innsisri dan lain-lainnya).
Setelah musik dasar selesai, saya merekam “guide vocal” sebagai panduan nada bagi Iwan Fals dan Sawung Jabo. Selanjutnya mereka relatif harus mengikuti alur melody lagu yang saya contohkan.
Sebab sudah pasti mereka juga sudah lupa akan bentuk lagu yang masih mentah, seperti saat kita gonjrang-ganjreng latihan sebulan (atau lebih) yang lalu. Apalagi Iwan Fals, hari ini dia nyanyi seperti itu besok bisa jadi sudah lain lagi atau sudah jadi lagu yang baru lagi hehehe.. (berubah terus….sak mate’k ‘e.., demikian celoteh kata Sawung Jabo).
Jadi saya bertugas selaku arranger untuk membatasi segalanya, dan itu wewenang serta hak saya yang semua pihak dengan patuh mentaatinya.
Demikian juga dengan ‘fill in’ lead guitar, bahkan saya menentukan running note yang harus dilakukan, dan punya hak untuk membatasi wilayah-wilayah yang tak boleh dilanggar. Semua itu berjalan dengan sebuah kesepakatan yang sudah disetujui bersama secara demokratis.
Bahkan saya juga bisa minta pendapat WS Rendra untuk merubah sebahagian kata-kata dalam tulisan sajaknya, agar lebih kompetibel masuk dalam ruang-ruang musik dan lagu.
Tapi proses itu bukan tanpa konsekwensi, karena memang akhirnya banyak pihak yang tidak merasa puas menyalurkan keinginannya. Jelas, karena memang dibatasi dengan aturan-aturan Music Arranger.
Salah satu yang merasa tak puas adalah mas Djody, dia merasa terkekang dengan notasi yang saya buat, “itu bukan saya yang sesungguhnya” (*katanya*), yah mungkin juga sih. Anda bisa mendengarkan rekaman-rekaman beliau setelah itu, nah itulah mungkin yang beliau maksudkan, tentang keinginan serta karakternya. Dan memang saya harus menghormati karakter tiap-tiap individu. Bukan masalah selera, suka atau tidak.
Lalu, disepakatilah untuk rekaman berikutnya tidak ada lagi arranger seperti saya dulu menanganinya. Semua boleh jadi arranger, supaya semua puas… dan juga atas nama demokrasi ‘baru’ yang coba untuk kita jalani.
Posted by Fellthis Cecillia
on 01.07. Filed under
KANTATA NEWS
.
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0.
Feel free to leave a response